_== Sejarah ==
Sebelum terbentuknya Provinsi Sumatera Barat,
Pesisir Selatan merupakan bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan
Kerinci (PSK) periode Sumatera Tengah.
===Pra abad 15===
Jauh
dimasa silam, wilayah Pesisir Selatan merupakan daerah sepanjang pesisir
pantai Sumatera Barat yang terdiri dari rawa-rawa dataran rendah dan
bebukitan yang belum berpenghuni. Kalaupun ada penghuni jumlahnya sangat
sedikit dan besar kemungkinan mereka adalah orang-orang yang dikenal
sebagai [[Orang Rupit]] pelarian dari daerah Sungai Pagu [[Muara Labuh]]
dan sekitarnya.
Dipercaya sebelum abad 15 dimana pada era ini
banyak terjadi ekspansi dan migrasi dari masyarakat Darek (Luhak Nan
Tigo) ke berbagai daerah yang disebut rantau, diduga kuat wilayah
Pesisir Selatan Tarusan Bayang dan Bandar Sepuluh sudah didiami oleh
masyarakat dari Inderapura karena kerajaan Teluk Air Pura sudah eksis
semenjak abad 8 Masehi, sementara [[kerajaan Sungai Pagu]] baru berdiri
pada abad 16 Masehi, begitupula [[kerajaan Pagaruyung]] yang baru
berdiri pada abad 14.
===3 Wilayah Pesisir Selatan berdasarkan negeri asal===
*Tarusan - Bayang - IV Jurai
*Bandar Sepuluh (Batangkapas - Sutera - Lengayang - Ranah Pesisir - Linggosari Baganti)
*[[Renah Indojati]] (Inderapura - Basa IV Balai [[Tapan]] - [[Lunang]] Silaut)
===Tarusan - Bayang - IV Jurai===
Nenek
moyang Koto XI Tarusan umumnya berasal dari nagari Guguk (dalam wilayah
Kubuang Tigo Baleh, Solok sekarang) dan sebagian kecil merupakan
ekspansi dari orang Bayang.
Nenek moyang Bayang Nan Tujuh dan Koto
Nan Salapan (Bayang Utara) berasal dari 3 nagari di Kubuang Tigo Baleh
(Solok sekarang) yaitu : Muaro Paneh, Kinari dan Koto Anau.
Nenek
moyang IV Jurai (Lumpo, Sago, Salido dan Painan) sebagian merupakan
ekspansi dari Bayang (Lumpo, Sago dan Salido) dan sebagian merupakan
ekspansi dari Batangkapeh (Bandar Sepuluh) yaitu Salido dan Painan.
Namun demikian Painan merupakan daerah yang dihuni oleh berbagai
pendatang dari berbagai arah, dari utara maupun selatan.
===Bandar Sepuluh===
Nenek
moyang Bandar Sepuluh umumnya dipercaya merupakan perantau dari Sungai
Pagu (Solok Selatan) pada abad 15. Tapi tidak tertutup kemungkinan
sebelum kedatangan mereka, Bandar Sepuluh sudah didatangi dan dihuni
oleh masyarakat dari Inderapura dan sekitarnya.
Disebut Bandar
Sepuluh karena di masa jaya-jayanya di wilayah ini terdapat sepuluh
bandar atau dermaga ("Labuhan" dalam istilah setempat). Masing-masing
nagari mempunyai dua dermaga yang terdapat di muara sungai-sungai besar
di wilayah Bandar Sepuluh.
===Renah Indojati===
Inderapura
terkenal dengan dua puluh penghulunya yang merupakan perwakilan dari 3
nenek moyang mereka (6 di hilir, 6 di mudik dan 8 dari daerah lain).
Inderapura merupakan daerah yang sudah tua, sudah dihuni semenjak abad
ke-8 Masehi. Sementara [[Tapan]] terkenal dengan 4 penghulu sukunya
sehingga disebut Basa Ampek Balai. Masyarakat Lunang dipercaya eksis
semenjak era kesultanan Inderapura dan diduga nenek moyang mereka
ekpansi dari masyarakat Inderapura sendiri, atau Sungai Pagu dan daerah
sekitarnya. [[Lunang]] juga mulai eksis setelah era kesultanan
Inderapura. Lunang mempunyai 8 orang penghulu suku yang berperan dan
berkonsultasi kepada Mande Rubiah (keturunan Bundo Kanduang) sebagai
yang dituakan dan dihormati di Lunang dan sekitarnya.
===Pasca abad 15===
Pada
tahun 1523 di Painan sudah berdiri sebuah surau, lembaga pendidikan
agama di Minangkabau. Pada abad 16 ini pula, Pulau Cingkuk di Painan
menjadi pelabuhan kapal international yang berjaya sebagai pelabuhan
emas Salido.
Pada tahun 1660, Belanda pernah berkeinginan untuk
memindahkan kantor perwakilan mereka dari Aceh ke Kota Padang dengan
alasan lokasi dan udara yang lebih baik namun keinginan ini ditolak oleh
penguasa kota Padang hingga akhirnya mereka berkantor di Salido.
Perjanjian
Painan pada tahun 1663 yang diprakarsai oleh Groenewegen yang membuka
pintu bagi Belanda untuk mendirikan loji di kota Padang, selain kantor
perwakilan mereka di Tiku dan Pariaman. Dengan alasan keamaman kantor
perwakilan di kota Padang dipindahkan ke pulau Cingkuk hingga pada tahun
1667 dipindahkan lagi ke kota Padang. Bangunan itu terbakar pada tahun
1669 dan dibangun kembali setahun kemudian.
Masyarakat Bayang
pernah terlibat dalam perang melawan Pemerintah Hindia Belanda selama
lebih kurang satu abad yaitu dimulai pada tahun 1663 sampai 1771.
Pada
tahun 1915, pemuka adat nagari Bayang Nan Tujuh dan Koto Nan Salapan
(sebelum menjadi kecamatan Bayang) mengadakan rapat di Koto Berapak dan
Pulut-pulut merumuskan tambo (sejarah dan adat) Nagari Bayang yang
menyatakan bahwa nenek moyang masyarakat Bayang dan cabang-cabangnya
(Lumpo dan Salido) berasal dari tiga nagari di Kubuang Tigo Baleh (Solok
sekarang) yaitu Muaro Paneh, Kinari dan Koto Anau. Mereka migrasi
sesudah kedatangan nenek moyang masyarakat XI Koto Tarusan di sebelah
utara, di balik bukit Bayang.
[[File:Kota Painan.jpg|thumb|Kota Painan Nan Indah]]
=== Tonggak Sejarah Pesisir Selatan ===
*
19 Agustus 1621 dengan peristiwa penolakan tegas pembesar Pesisir
Selatan terhadap kekuatan asing yang berpraktik imperialisme dan
mengarah kolonialisme dan pengakuan Pagaruyung terhadap Pesisir.
* 7
Juni 1663, Perang Bayang (1663-1711), perlawanan rakyat sarat dengan
rasa nasionalis menolak Belanda membuat loji VOC pertama di kawasan
Sumatera Barat, yakni di Pulau Cingkuk tahun 1662.
* 6 Juli 1663,
Perjanjian Painan lanjutan dari Sandiwara Batangkapas. Sandiwara menolak
kebijakan politik Sultan Iskandar Muda (Aceh) menjaga ketat bahkan
hendak menutup kota pantai pelabuhan Samudrapura, Indrapura dalam
berdagang lada dan emas.
* 28 Januari 1667, pertemuan tingkat tinggi
antara Raja Minangkabau dan Belanda yang salah satu solusinya adalah
pengakuan terhadap eksistensi Pesisir Selatan sebagai bagian integral
wilayah sub kultur Minangkabau.
* 6 Juni 1701, kemarahan rakyat
Pesisir Selatan terhadap tipuan Belanda menawarkan jasa memadamkan
huru-hara sebagai mantel praktik imperialism mengarah colonialism,
dengan membakar loji VOC di Indrapura.
Sumber